Kisah Anak-Anak di Kudus, yang Harus Pergi Sekolah lewat Tanggul Sungai

foto : murianews.com

Wildan Satria Abimanyu, 12 tahun, setiap hari harus bangun pukul 05.00 WIB. Sehabis melaksanakan kewajiban di waktu Subuh itu, Wildan kemudian menyiapkan peralatan sekolahnya.

Dalam tas sekolahnya itu, selain berisi peralatan sekolah, juga ada tas kresek plastik. Benda itu tidak pernah ketinggalan, apalagi jika cuaca hari itu sedang tidak baik atau hujan.

Bocah warga Dukuh Karangturi, Desa Setrokalangan, Kecamatan Kaliwungu, Kudus, itu merupakan siswa kelas 6 SD 1 Setrokalanga. Persiapan yang cukup dini itu dilakukan Wildan, karena dia harus berjalan kaki untuk pergi ke sekolahnya, yang jaraknya 1,5 kilometer dari rumahnya di RT 5/RW 3, Dukuh Karangturi tersebut.

Tidak seperti rekan sesama bocah SD lainnya yang ke sekolah naik sepeda motor diantar orang tua atau naik angkutan umum, Wildan harus menempuh perjalanan dengan menyusuri tanggul Sungai Wulan, untuk sampai ke sekolahnya itu.

Tanggul yang dilalui tentu saja tidak mulus layaknya jalan raya. Namanya juga tanggul. Tidak lebar, terkadang kalau hujan becek dan tergenang. Itulah gunanya kresek yang dibawa Wildan tadi. ”Jika turun hujan, maka sepatu dan kaus kaki, saya masukkan ke tas kresek. Biar tidak basah,” jelasnya kepada koran muria, Rabu (24/2/2016).

Medan yang ditempuh memang cukup berat. Namun hal itu tidak mengurangi semangat murid untuk bersekolah. Meski mereka harus menempuh jalan sepanjang kurang lebih 1,5 kilometer.

Selain berjalan kaki, ada juga teman-teman Wildan yang menggunakan sepeda saat berangkat ke sekolah. Mereka juga bernasib sama, yakni harus menempuh jalan di atas tanggul jika hendak pergi ke sekolah.

Perlu waktu kurang lebih setengah jam bagi para siswa tersebut, untuk sampai ke sekolah. Itu saja kalau cuaca sedang bagus. Jika sedang hujan, apalagi Sungai Wulan sedang penuh debit airnya, maka perjalanan akan lebih lama lagi.

”Soalnya harus hati-hati. Licin tanggulnya. Jalannya harus pelan-pelan. Terkadang kan, kalau becek sepatunya dibungkus kresek plastik. Jadi tidak pakai sepatu. Tapi kalau cuacanya cerah, sampai di sekolah 06.30 WIB. Itu dari rumah pukul 06.00 WIB,” tuturnya.

Sebenarnya, warga bisa juga menempuh jalau normal. Yakni melalui jalan raya yang merupakan jalur lingkar. Namun, jika itu dilakukan, maka jarak tempuhnya akan semakin lama. Sehingga mereka memilih menggunakan tanggul untuk mencapai lokasi sekolahnya.

 Kondisi tanggul yang rawan, memang bisa membahayakan mereka. Pasalnya, tanggul bukanlah jalan umum. Apalagi jika kondisi debit air Sungai Wulan sedang tinggi. Maka warga harus semakin berhati-hati saat melalui jalur tersebut.

Murid lainnya dari Karangturi bernama Riska Nor Hidayah mengatakan, dirinya menggunakan sepeda ke sekolah. ”Kalau cuacanya cerah, bisa dinaiki sepedanya. Tapi kalau becek, maka sepedanya dituntut. Karena kan, jalannya licin. Takut jatuh,” katanya.

Wildan dan Riska mengaku kalau misalnya di dukuhnya ada sekolah dasar sendiri, maka mereka akan lebih senang. Pasalnya, mereka tidak perlu lagi melalui jalan tanggul berbahaya itu.

”Soalnya kan, jadi lebih dekat. Tidak harus jalan setiap pagi. Tidak capek, tidak ketemu becek. Meski banjir, tetap bisa masuk sekolah. Soalnya kalau banjir, kami jadi tidak bisa masuk sekolah,” imbuhnya

sumber : koranmuria.com

Subscribe to receive free email updates: